welcome

Thursday

Sejarah Di Balik Masuknya Islam ke Indonesia

 
Setidaknya, ada enam pendapat tentang masuknya Islam ke Indonesia. Pemerhati sejarah Islam di Indonesia belum dapat menentukan pasti pendapat yang paling benar dari keenam pendapat tersebut. Generasi-generasi sejarawan baru muncul satu per satu, namun belum tercapai perkembangan baru khusus tentang asal-muasal Islam di Indonesia. Belum ditemukan sumber-sumber sejarah baru untuk memecahkan masalah yang dimaksud.

***

Pertama, Islam yang masuk dan berkembang di Indonesia berasal dari Jazirah Arab dan bahkan dari Makkah langsung pada abad ke-7 M atau pada abad pertama Hijriah. Pendapat ini adalah pendapat Hamka, salah seorang tokoh yang pernah dimiliki Muhammadiyah dan mantan ketua MUI periode 1977 - 1981.

Hamka yang sebenarnya bernama Haji Abdul Malik bin Abdil Karim mendasarkan pendapatnya ini pada fakta bahwa mazhab yang berkembang di Indonesia adalah mazhab Syafii. Menurutnya, mazhab Syafii berkembang sekaligus dianut oleh penduduk di sekitar Makkah.

Selain itu, yang tidak boleh diabaikan adalah fakta menarik lainnya bahwa orang-orang Arab sudah berlayar mencapai Cina pada abad ke-7 M dalam rangka berdagang. Hamka percaya, dalam perjalanan inilah, mereka singgah di kepulauan Nusantara pada waktu itu.

Kedua, Islam dibawa dan disebarkan di Indonesia oleh orang-orang Cina. Mereka yang menyebarkan ini bermazhab Hanafi. Pendapat ini disimpulkan oleh salah seorang pegawai Belanda pada masa pemerintahan kolonial Belanda dulu, Residen Poortman. Sebelum Indonesia merdeka, orang-orang Belanda pernah menguasai hampir seluas Indonesia sekarang sebelum ditaklukkan oleh tentara Jepang pada 1942.

Tepatnya pada 1928, Poortman memulai penelitiannya terhadap naskah Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Tidak berhenti di situ, ia melanjutkan penelitiannya terhadap naskah-naskah kuno Cina yang tersimpan di klenteng-klenteng Cina di Cirebon dan Semarang. Ia pun sempat mencari naskah-naskah kuno di sebuah klenteng di Batavia, Jakarta dulu.

Hasil penelitiannya itu disimpan dengan keterangan Uitsluiten voor Dienstgebruik ten Kantore, yang berarti “Sangat Rahasia Hanya Boleh Digunakan di Kantor.” Sekarang disimpan di Gedung Arsip Negara Belanda di Den Haag, Belanda. Pada 1962, terbit buku Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao yang ditulis Mangaradja Onggang Parlindungan. Dalam buku ini dilampirkan juga naskah-naskah kuno Cina yang pernah diteliti oleh Poortman.

Ketiga, Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-12 M. Islam dibawa dan disebarkan oleh pedagang-pedagang Gujarat yang singgah di kepulauan Nusantara. Mereka menempuh jalur perdagangan yang sudah terbentuk antara India dan Nusantara.

Pendapat ketiga ini adalah pendapat Snouck Hurgronje, seorang penasehat di bidang bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam untuk pemerintah kolonial Belanda. Ia mengambil pendapat ini dari Pijnapel, seorang pakar dari Universitas Leiden, Belanda, yang sering meneliti artefak-artefak peninggalan Islam di Indonesia.

Pendapat Pijnapel ini juga dibenarkan oleh J.P. Moquette yang pernah meneliti bentuk nisan kuburan raja-raja Pasai, Aceh. Moquette secara khusus meneliti bentuk nisan kuburan Sultan Malik Ash-Shalih. Nisan kuburan Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur, juga ditelitinya. Dan ternyata sangat mirip dengan nisan-nisan kuburan yang ada di Cambay, Gujarat.

Ternyata pendapat Moquette yang memperkuat pendapat Pijnapel dan Hurgronje disanggah oleh S.Q. Fatimi. Pendapat Fatimi adalah nisan-nisan kuburan yang ada di Aceh dan Gresik justru lebih mirip dengan bentuk nisan-nisan kuburan yang ada di Benggala, sekitar Bangladesh sekarang.

Lebih jauh lagi, Fatimi percaya, pengaruh-pengaruh Islam di Benggala itu banyak ditemui dalam Islam yang berkembang di Nusantara dulu. Oleh karena itu, Islam yang ada di Indonesia ini sebenarnya berasal dari Bangladesh. Pendapat ini adalah pendapat keempat.

Pendapat Moquette juga disanggah oleh G.E. Marrison. Marrison malah yakin, bahwa Islam yang datang ke Indonesia berasal dari Pantai Coromandel, India Selatan. Alasannya, pada abad ke-13 M, Gujarat masih menjadi sebuah kerajaan Hindu, sedang di Pantai Coromandel Islam telah berkembang.

Marrison juga berpendapat, para pembawa dan penyebar Islam yang pertama ke Indonesia adalah para Sufi India. Mereka menyebarkan Islam di Indonesia dengan pendekatan tasawwuf pada akhir abad ke-13 M. Waktu itu, masih terhitung belum lama dari peristiwa penyerbuan Bagdad oleh orang-orang Mongol. Penyerbuan yang dimaksud memaksa banyak Sufi keluar dari zawiyah-zawiyah mereka dan melakukan pengembaraan ke luar wilayah Bani Abbasiyah, seperti ke ujung Persia atau bahkan ke India.

Sebelum Marrison mengemukakan pendapatnya, T.W. Arnold telah menyakini bahwa Islam di Indonesia juga dibawa atau berasal dari Pantai Coromandel dan Malabar, India. Karena itu, banyak yang beranggapan bahwa Marrison memperkuat pendapat Arnold itu.

Setelah kelima pendapat itu, Hoesein Djajadiningrat mengemukakan pendapat keenam tentang masuknya Islam di Indonesia. Djajadiningrat dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang mempertahankan disertasi di Universitas Leiden, Belanda, pada 1913. Disertasinya itu berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (Pandangan Kritis Mengenai Sejarah Banten).

Menurutnya, Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Persia. Djajadiningrat beralasan, peringatan 10 Muharram atau hari Asyura sebagai hari kematian Husein bin Ali bin Abi Thalib yang ada di Indonesia berasal dari perayaan kaum Syiah di Persia. Peringatan 10 Muharram itu lebih dikenal sebagai perayaan Hari Karbala.

Djajadiningrat juga yakin dengan pendapat ini, karena keberadaan pengaruh bahasa Persia di beberapa tempat di Indonesia. Selain itu, keberadaan Syeikh Siti Jenar dan Hamzah Fansuri dalam sejarah Indonesia menandakan adanya pengaruh ajaran wihdatul wujud Al-Hallaj, seorang Sufi ekstrem yang berasal dari tanah Persia.

***

Dapat terlihat bahwa perbedaan pendapat itu terjadi karena dasar-dasar berpikir yang dipakai dalam membangun pendapat. Pijnapel, Hurgronje, Marrison, Moquette, Fatimi lebih mempercayai bukti-bukti kongkret yang masih bisa diyakini secara pasti, bukan spekulatif. Karena itu, pendapat-pendapat mereka lebih logis, meskipun bisa menuntut mereka untuk percaya bahwa Islam pertama kali berkembang di Indonesia pada sekitar abad ke-13 M, lebih belakangan ketimbang agama Hindu dan Buddha.

Berbeda dari pendapat Residen Poortman. Meski berdasarkan catatan-catatan Cina yang tersimpan bertahun-tahun, masih ada kemungkinan salah tafsir atas penyataan-pernyataan tertulis yang ada di dalamnya. Dan juga: masih besar kemungkinan adanya manipulasi data tanpa sepengetahuan para pembaca.

Pendapat Hamka bahkan lebih mudah lagi untuk terjerumus ke dalam bentuk spekulatif yang belum tentu bisa dibuktikan kebenarannya. Pendapatnya berdasarkan perkiraan-perkiraan pribadi. Pendapatnya tidak ditunjang oleh data sejarah yang kongkret. Sangat kecil kemungkinan pendapatnya untuk benar. Demikian pula, kiranya, dengan pendapat Djajadiningrat. Bisa jadi persamaan-persamaan yang dikemukakan dalam pendapatnya itu hanya kebetulan-kebetulan yang mirip pada objek.

Akan tetapi, hampir setiap pendapat itu memiliki konsekwensi. Jika seseorang memercayainya suatu pendapat dari pendapat-pendapat itu, maka, bagaimana pun, ia mesti menerima konsekwensi-konsekwensi yang ada.

Seperti jika percaya pendapat bahwa Islam dibawa masuk dari Persia, sedikit-banyaknya, akan membuat kita berpikir, para penyebar Islam pertama kali di Nusantara adalah orang-orang Syiah. Dan karena itu, Syiah adalah bentuk akidah pertama yang diterima di Indonesia. Baru setelah itu Islam ahlu Sunnah wal Jamaah yang berkembang.

Apabila kita memercayai Islam yang masuk di Indonesia berasal dari Jazirah Arab pada abad ke-7 M, berarti orang-orang di Nusantara telah mengenal dakwah Islam sejak masa para sahabat masih hidup. Artinya, ketika para tabi’in ramai-ramai menuntut ilmu agama pada para sahabat Nabi, segelintir orang di Nusantara juga telah mengenal Islam yang sama pada waktu itu. Hanya jarak yang memisahkan mereka.

Demikian pula, jika kita menerima pendapat bahwa Islam berasal dari Pantai Coromandel, India Selatan. Jika pendapat ini yang kita terima, maka bisa dipastikan para pemeluk pemula Islam di Indonesia adalah orang-orang yang berakidah dengan akidah Sufi atau setidaknya mengenal Islam lewat kacamata tasawwuf.

***

Seorang sejarawan muda, dengan rasionalitas yang dimilikinya, pernah menyarankan untuk tidak memperbincangkan topik-topik sejarah yang tidak bisa dilacak sumber-sumber sejarahnya. Ketimbang membicarakan sesuatu yang bersifat spekulatif, juga tidak pasti, lebih baik mengangkat topik-topik sejarah yang jelas dan sedikit kemungkinan terjadi unsur “mengada-ada” di dalamnya. Artinya, sumber-sumber sejarah yang ada bisa diverifikasi atau bahkan dipercayai kebenarannya lewat kerangka berpikir rasional.

Dalam sejarah manusia, ternyata, masih banyak topik-topik sejarah yang bisa dirunut kebenarannya. Bukti-bukti sejarahnya masih tersisa, sehingga bisa direkonstruki oleh siapa pun. Seperti topik-topik sejarah kontemporer, sejarah Nusantara di zaman Belanda, atau sejarah di zaman pendudukan tentara Jepang dulu. Ini, bagi kita yang memiliki perhatian terhadap sejarah Indonesia.

Mengacu pada hal itu pula, maka sejarah zaman Nabi Muhammad pun bisa dirunut kebenarannya. Terbukti, sampai sekarang, keterangan-keterangan tertulis tentang peristiwa-peristiwa pada zaman itu bisa didapatkan secara berlimpah dari antologi-antologi hadis Nabawi yang belakangan ini banyak diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia. 
 
 Keadaan itu, ternyata, makin terdukung ketika muncul banyak pakar-pakar hadis yang membukukan hasil penelitian-penelitian mereka terhadap hadis-hadis Nabawi. Salah seorang di antaranya, untuk misal disebut di sini, adalah Muhammad bin Nuh Nasiruddin Al-Albani, seorang peneliti dan pakar hadis dari Yordania. Atau juga bisa disebut Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, seorang peneliti dan pakar hadis dari Yaman. Di Arab Saudi pun, ada Rabi’ bin Umair Al-Madkhali, salah seorang peneliti dan guru besar ilmu hadis di Universitas Islam, Madinah.

Sebagaimana diketahui, tidak semua hadis dapat diterima. Sebab, di antara hadis-hadis itu, ada hadis-hadis yang lemah dan palsu. Hadis-hadis seperti ini, tentu saja, tidak dapat diterima atau dijadikan bahan rujukan, karena ada kemungkinan hadis-hadis itu dibuat-buat oleh seorang penipu dan pemalsu untuk tujuan tertentu atau disampaikan secara keliru oleh seseorang yang lupa dan terganggu ingatannya.

random post

0 komentar:

Post a Comment

banner ads